Psikoterapi



ASPEK IBADAH TAMBAHAN
BAGI PASIEN DI RUMAH SAKIT

oleh:
Rahmat Komala
(Mahasiswa BPI UIN Bandung, Praktikan PPM di RS al-Ihsan Jabar)


Dalam kehidupan kita sehari-hari, disadari atau tidak, kita tidak akan pernah luput dari penyakit, baik itu penyakit yang terdapat pada jasad maupun pada ruh kita. Jika penyakit kita berupa penyakit jasad kita akan mudah menemukan dan mendapatkan obat dan penawarnya di rumah sakit, apotik bahkan di warung-warung sekitar kita. Lainnya halnya bila penyakit tersebut adalah penyakit yang berada dalam ruh kita, kita tidak semudah itu mendapatkan obat sebagai penawarnya, kita akan merasa kesulitan kemana harus mencari obat dan penawar untuk masalah tersebut. Yang lebih parah lagi jika penyakit jasad itulah yang membuat ruh kita pun menjadi sakit.
Salah satu contohnya adalah kita sering merasakan lemah tak berdaya dihadapkan dengan berbagai tekanan dan bahaya hidup lainnya seperti ketika kita berada di Rumah Sakit dalam kondisi terbaring lemas tidak ada yang bisa diperbuat. Kita merasa gelisah, gundah, dan sedih, hal itu membuat kita putus asa karena serasa hidup sudah tak berarti lagi. Rasa keputusasaan ini bersumber dari hati kita sendiri karena hati kitalah yang merasakannya. Oleh sebab itu, organ tubuh kita merasakan efek dari penyakit tersebut.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hati itu berfungsi sebagai pusat perubahan, pusat kebijaksanaan, dan pusat perbuatan. Dalam sebuah hadits Rasullah SAW. dikatakan : “...Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rusak maka rusaklah pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah Hati.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits tersebut kita ketahui bahwa memang betul baik buruk perbuatan kita itu ditentukan oleh hati. Islam telah banyak mengajarkan kepada kita untuk selalu menjaga hati kita, baik dengan melakukan ibadah-ibadah pokok yang sudah menjadi kewajiban kita untuk melaksanakannya seperti shalat dan puasa ataupun dengan ibadah-ibadah tambahan seperti dengan berdo’a, berdzikir, membaca al-quran ataupun bacaan-bacaan spiritual lainnya. Ibadah-ibadah pokok sudah tentu kita laksanakan karena itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT., sedangkan untuk ibadah tambahan kita terkadang melalaikannya padahal dalam ibadah tambahan tersebut tersimpan rahasia-rahasia yang akan memberi manfaat kepada kita. Misalnya dzikir, dzikir dapat dijadikan materi pokok syifa (terapi) dan dapat pula dijadikan sebagai metode/cara syifa (terapi) tersebut. Dengan berdzikir rasa gelisah, gundah, dan sedih yang membuat kita putus asa secara perlahan akan hilang. Selain dengan berdzikir kita ikuti dengan berdo’a kepada Allah SWT. memohon kesembuhan kepadanya, membaca al-quran, dsb.

A.     Do’a
Do’a secara bahasa dapat diartikan menyeru, meminta, memohon dan berharap. Sedangkan dalam pengertian secara prakteknya do’a adalah merendah-kan diri dan tunduk di hadapan Allah SWT.
Dalam perhatian dan perasaan kita kalau menelaah literatur do’a selalu terpaku pada satu kata yang sering muncul dalam do’a tersebut, yaitu Allahumma. Kata ini memberi pengertian bahwa ketika memohon, meminta dan berharap hanyalah kepada Allah. Dalam al-Quran, kata Allahumma hanya terdapat dalam lima ayat saja, yaitu:
1.      QS. Ali Imran : 26
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

2.      QS. Al-Maa’idah : 114
Isa putera Maryam berdo’a: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama".
 3.      QS. Al-Anfaal : 32
Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih".

4.      QS. Yunus : 10
Do'a mereka di dalamnya ialah: “Subhanakallahumma”, dan salam penghormatan mereka ialah: ”Salam”. dan penutup do’a mereka ialah: “Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin”.

5.      QS. Az-Zumar : 46
Katakanlah: “Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya”.
Berdo’a, meminta, berharap dan memohon merupakan ungkapan yang mempunyai maksud yang sama. Semua diarahkan pada Zat yang dapat memenuhi dan mengabulkan, dialah al-Mujiib Allah SWT.
Rasulullah SAW. selalu membuka do’anya dengan memuji dan meyucikan Allah SWT. Dengan membaca “Subhaana Rabiyal-a’lal-wahhaab” Mahasuci Allah yang Mahatinggi lagi Maha Pemberi.
Membuka do’a, baik untuk kesembuhan dari suatu penyakit atau yang lainnya dengan menyebut nama Allah SWT., dapat membuka berbagai pintu kebaikan. Anda mengimani, membenarkan dan meyakini bahwa ditangan Allah-lah kunci segala sesuatu itu. Hanya kepada-Nya tempat kembali sesuatu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang layak disembah kecuali Allah yang Maha Pemurah lagi Penyayang.

B.      Dzikir
Dalam al-Quran kata dzikir ini disebut dengan berbagai macam derivasi (tashrif) sebayak 291 kali penyebutan, makna dzikir dalam al-Quran ini dapat di kelompokkan pada tujuh kelompok, yaitu :
1.      Mengingat Allah SWT.;
2.      Mengingat nikmat dari Allah SWT.;
3.      Mengingat diri sebagai hamba Allah SWT.;
4.      Mengingat dan mempelajari isi kitab-kitab Allah SWT.;
5.      Nama lain dari al-Quran;
6.      Ilmu Pengetahuan; dan
7.      Mengingat sejarah kehidupan manusia.
Dzikir dalam pengertian mengingat Allah melalui keyakinan, ucapan dan perbuatan antara lain ditegaskan dalam QS. Thaha : 14, yaitu :
 “... dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan dzikir adalah sesuatu yang diucapkan secara berulang-ulang, disertai kehadiran hati, seperti mengucapkan tasbih, menyucikan Allah, memuja dan memuji-Nya, serta menyebutkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Semua ini diucapkan dengan lisan dan disertai dengan keyakinan di dalam hati.
Menurut Asisi (1994), dzikir merupakan proses penyadaran diri sebagai hamba Allah, penyembuhan terhadap penyakit kerohanian bahkan penyakit sosial. Dzikir ini selain sebagai pesan bimbingan keagamaan juga sekaligus sebagai salah satu metode terapi penyakit mental.
Diantara kalimat yang digunakan dalam berdzikir adalah : لا ا له الا الله
Kalimat ini disebut kalimat Thayyibah dan kalimat Tauhid. Penggunaan kalimat ini sebagai bentuk dzikir selain didasarkan pada al-Quran juga didasarkan pada hadits Nabi SAW.:
“Dzikir yang paling utama ialah membaca lafadz laa ilaaha illallaahu dan do’a yang paling utama ialah membaca kalimat alhamdulillah.” (HR. Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i, Ibnu Hiban, dan Hakim dari Jabir)
Menurut al-Jauzi (1997), dzikir dapat dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Baginya al-Asma al-Husna yang dijadikan substansi dzikir akan mempunyai pengaruh bagi pelakunya sesuai dengan niat yang mendasari kegiatan dzikir tersebut. Bahkan menurut Sabiq (1992), dzikir ini akan menjadi sumber kekuatan bagi orang beriman dalam melawan berbagai tantangan hidup baik lahir maupun batin.
Pengaruh dzikir tersebut menurut Salim (1995), selain dapat memelihara diri dari kejahatan juga berpengaruh bagi penyembuhan penyakit mental dan penyakit fisik.
Mahmud Abdul Kadir (1983) sebagai pakar biokimia melakukan penelitian tentang hubungan iman kita dengan kondisi biokimia tubuh manusia, menurutnya pengaruh signifikan iman terhadap kesehatan tubuh kita, sebab itu sendiri termasuk perilaku berdzikir merupakan penggunaan energi yang dapat memproduksi energi baru di dalam anatomi tubuh manusia dan dapat menjadikan kita memperoleh kesembuhan dari penyakit tertentu.
Berdzikir sama dengan berobat dan efektivitasnya dapat dibuktikan secara empirik, misalnya dalam penyembuhan tekanan darah tinggi dan peningkatan produktivitas kerja.
                                        
C.      Membaca al-Quran
Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Israa : 82)
Al-Quran adalah kitab petunjuk yang paling akhir yang diturunkan untuk mensucikan akidah para hamba, mensucikan jiwa mereka dari akidah-akidah yang salah dan untuk memperbaiki amal ibadah serta hal kemasyarakatan yang mendatangkan kebahagiaan.
Al-Quran adalah syi’ar kita ummat Islam. Dialah wirid kita dialah penawar dan penyejuk hati kita. Dialah taman yang indah yang kembang-kembangnya berseri-seri menyebarkan wangi yang harum.
Di dalam al-Quran terdapat penawar dan rahmat bagi mereka yang hatinya dipenuhi sinar keimanan. Sehingga hatinya bercahaya dan terbuka untuk menerima semangat, ketenangan dan rasa aman yang terdapat di dalam al-Quran. Al-Quran merupakan penawar dari kegelisahan dan kebingungan. Al-Quran membuat hati manusia dekat dengan Allah, sehingga hati menjadi tenang dan tentram. Hati akan merasakan adanya perlindungan dan rasa aman. Hati akan menjadi ikhlas dan ridha dalam menghadapi hidup.
Al-Quran juga merupakan penawar stres, kekotoran diri, tamak, hasad dan melepaskan diri dari godaan setan yang akan mendorong manusia melakukan tindakan merusak dan destruktif.
Menurut al-Ghazali, dalam membaca al-Quran ada beberapa adab yang harus dilakukan, yaitu:
1.      Khusuk. Semua pikiran tertuju terhadap apa yang dibaca.
2.      Memahami kebesaran Kalamullah, ketinggiannya dan keutamaan Allah serta kemurahan-Nya.
3.      Membesarkan Zat Allah yang kita hadapi dikala membaca al-Quran.
4.      Mentadabburkan al-Quran
5.      Melepaskan diri dari segala yang menghalangi pemahaman al-Quran.
6.      Hendaklah setiap perintah Allah yang kita bacakan kita anggap dihadapkan kepada kita.
7.      Merasa berkesan dengan apa yang kita bacakan itu.
8.      Hendaklah kita berusaha supaya suara yang kita dengar, seolah-olah kita dengar langsung dari Allah SWT.

Referensi: 
Al-Quranul Karim.
Kojiro Nakamura. 2005. Metode Zikir dan Do’a al-Ghazali. Bandung : Arasy PT Mizan Pustaka.
Muhammad Ali Quthb. 2007. Terapi Zikir dan Doa Kumpulan Doa dan Zikir Nabi, Sahabat, dan Orang Saleh. Jakarta : Darul Lathaaif.
Muhammad Hasbi ash-Ahiddeqy. 1998. Pedoman Puasa. Semarang : PT Pustaka Rizki Putra.
_____________ . BAB III Irsyad (Bimbingan) Sebagai Proses Terapi.


 


KEAJAIBAN DOA
Oleh: Aep Kusnawan, M.Ag.*

Mengapa kita harus berdoa? Jawaban singkatnya, karena doa erat kaitannya dengan iman. Dua unsur agama tersebut saling menjelaskan. Unsur yang satu menjadi ciri bagi yang lainnya, demikian pula sebaliknya. Berdoa merupakan salah satu kegiatan ibadah yang biasa dilakukan orang beriman. Sebaliknya, hanya mereka yang beriman, dalam arti percaya akan keberadaan Allah, yang senantiasa berdoa. Tanpa keyakinan yang untuh kepada Allah, hampir bisa dipastikan, seseorang tidak akan pernah berdoa. Dengan kata lain, doa merupakan eksistensi imani, sebagai bentuk pengakuan atas segala keterbatasan kemampuan seseorang dalam melakukan apapun di dunia ini.
Berdoa merupakan salah satu perbuatan ibadah. Melalui rangkaian firman Allah dalam Al-Quran, Allah memerintahkan setiap manusia untuk senantiasa meminta, memohon, berdoa, apapun (hanya) kepada Allah. Rasulullah memberikan bimbingan khusus mengapa manusia harus berdoa.
Dalam kerangka ibadah, berdoa merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Ia juga merupakan unsur yang melengkapi keutuhan ibadah seseorang. Sebab, dengan danya berdoa, seseorang telah meyakini sepenuhnya eksistensi Allah yang menjadi segala titik pusat perhatian segala tindak beribadah.
Nabi mengilustrasikan: “Doa sebagai senjata bagi orang-orang yang beriman,dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi ” (HR. Hakim dan Abu Ya’la).
Ilustrasi hadis tersebut mengisyaratkan sekurang-kurangnya dua unsur agama yang saling menjelaskan, yaitu doa dan iman. Unsur yang satu menjadi ciri bagi yang lainnya, demikian pula sebaliknya. Berdoa merupakan salah satu kegiatan ibadah yang biasa dilakukan orang beriman. Sebaliknya, hanya mereka yang beriman, dalam arti percaya akan keberadaan Allah, yang senantiasa berdoa. Tanpa keyakinan yang untuh kepada Allah, hampir bisa dipastikan, seseorang tidak akan pernah berdoa. Itulah sebabnya Nabi menggambarkan doa sebagai intinya ibadah (mukhul ibadah).
Sebagai inti ibadah, doa merupakan seruan kepada Allah, yang merupakan titik sentral dalam kesadaran manusia untuk beribadah kepada-Nya. Maka Allah pun menghargai doa seseorang pada tingkatan yang tinggi. Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Tidak ada satupun (amal hati) yang lebih mulia pada pandangan Allah dari pada doa”.

Doa Dan Fungsinya
Berdoa juga merupakan salah satu bentuk pengakuan kita sebagai orang yang beriman atas segala kemahakuasaan Allah. Sebab, dalam segala bentuk ihktiar yang dilakukan manusia, terdapat aspek keterlibatan Allah. Dengan demikian, doa secara sederhana, dapat dipandang sebagai usaha kita untuk memperoleh kesesuain antara pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan dengan kehendak Allah. Karena itu doa kita menjadi tidak berarti apa-apa tanpa diikuti oleh usaha nyata sesuai dengan kehendak, seperti apa yang tersurat atau tersirat dalam kata-kata doa yang dibacakan.
Sepintas kadang doa dikesani berseberangan dengan konsep usaha (ikhtiar) yang juga diperintahkan oleh Allah. Berdoa sering digambarkan sebagai konsep menyerah (fatalistik) untuk menghindari beban usaha yang tidak lagi mampu diusahakannya. Padahal sesungguhnya berdoa justru merupakan unsur pelengkap yang dapat memperkokoh proses ikhtiar yang dilakukan oleh kita.
Dengan kata lain, doa merupakan ikhtiar spiritual dan penyemangat untuk mencapai apa yang diharapkan. Ia juga merupakan energi yang sangat hebat sebagai pembangkit harapan, semangat, serta jaminan untuk meraih apa yang dicita-citakannya. Bahkan, doa merupakan bagian dari faktor yang efektif dan berpengaruh atas perubahan nasib seseorang, untuk berpindah dari takdir buruk kepada takdir yang baik.
Itulah doa, sebagai ikhtiar spiritual seseorang. Ia beriringan dengan ikhtiar fisik nyata. Keduanya seiring sejalan untuk menghantarkan pada yang diinginkan seseorang.
Doa juga banyak dikaji dari berbagai perspektif. Salah-satunya dari aspek "kesehatan", aktivitas, kreativitas dan produktivitas. Kita yang biasa berdoa, akan merupakan sosok yang "sehat". Kita akan memiliki harapan, tumpuan dan pelindung. Kita juga akan memiliki wawasan, pandangan dan jangkauan yang luas. Sebab dengan berdoa, berarti kita meyakini diri kita dekat dengan yang Maha. Dalam kreativitas yang kita miliki, ada yang lebih Maha kretif. Di balik rencana yang diprogramkan kita juga akan meyakini bahwa ada yang Maha merencanakan. Di balik produktivitas yang kita hasilkan ada yang lebih Maha Menciptakan. Oleh karena itu, kita akan senantiasa memiliki "kedewasaan", penuh imajinasi, ide, dan alat kontrol yang tinggi. Sehingga ketika menghadapi kesuksesan, yang akan muncul bukan kesombongan, melalikan rasa syukur. Sedangkan jika yang dialami kegagalan, maka kita tidak akan mudah putus asa, sebab di balik kegagalan itu terdapat pelajaran, dan banyak langakah lain yang bisa ditempuh.

Doa dan Kesuksesan
Allah pasti akan menjawab semua permintaan orang yang mendekat kepada Allah, meskipun di luar perhitungan jangkauan logika biasa. Seperti pernah, suatu saat Nabi Zakaria mengharapkan sesuatu di luar perhitungan logika manusia. Bagaimana mungkin, Zakaria ingin mempunyai anak, padahal dia sudah cukup lanjut usia, dan istrinya pun dalam keadaan mandul. Dalam kepasrahan total pada dzat yang Maha Mendengar, Zakaria berdoa:
Tuhanku, aku cemas bila kelak sepeninggalku, tak ada keturunan yang mewarisiku. Tapi, istriku mandul dan aku pun sudah terlalu tua. Namun begitu, ya Rabbi, anugerahilah aku seorang anak”.(Q.S. Maryam: 5)
            Di luar kemampuan akal manusia, Tuhan ternyata mendengar rintihan Zakaria. Kondisi biologis seperti yang dikeluhkan Zakaria, bukan lagi alasan untuk tidak mempunyai keturunan. Lalu, diberinya seorang anak bernama Yahya, yang juga menjadi Nabi bagi umat pada zamannya. Peristiwa ini diceritakan ulang dalam Al-Quran, surat Maryam ayat 5-7.
            Jadi, doa itu memang ajaib. Sebab, tidak semua orang bisa berdoa seperti Zakaria. Doa juga unik sebab bisa menghubungkan secara abstrak antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya. Meskipun tidak seperti ajaran ”lampu aladin”, doa akan tetap membuahkan makna bagi mereka yang mampu menggapai hakikat hubungan antara dirinya dan Allah yang dipintanya.
            Pada praktiknya, orang bisa menemukan pengalaman yang sangat bervariasi tentang doa. Seorang sufi umpamanya, lebih gampang merasakan nikmatnya berkomunikasi dengan Allah. Ia begitu mudah larut dalam pengembaraan spiritual dan tenggelam dalam satu kesadaran imajiner yang sulit dilukiskan dalam bentuk bahasa biasa. Hal ini tentu saja tidak terjadi pada mereka yang tidak pernah berusaha akrab dengan Allah. Itulah sebabnya, pengalaman Sufi lebih mudah mengundang salah interpretasi, hanya karena ketidakmampuan orang dalam menangkap dan menerjemahkan esensi tindakan yang ditempuhnya.
Begitu juga dengan kita, jika ingin mendapatkan pengalaman dalam berdo’a, maka rajinlah berdoa. Bukan hanya karena kewajiban, tetapi juga karena kita membutuhkannya. Berdoalah dengan ikhlas, khusu, dan tidak putus-asa. Niscaya keajaiban doa akan kita alami. Insya Allah.

*Penulis, adalah Penulis Buku “Doa-doa Sukses For Teens” Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri SGD Bandung.