Dakwah



SEJARAH KALENDER ISLAM
oleh :
Rahmat Komala

Bulan berganti, tahunpun berlalu. Setiap pergantian tahun, berbagai cara dilakukan orang untuk menyambut tahun berikutnya. Ada bersuka cita dengan meluapkan kegembiraan di jalanan hingga larut malam, ada juga yang sujud tersungkur, bertafakur, dan introspeksi diri atas setahun perjalanan masehi atau hijriah yang telah dijalani. Tidak sedikit pula yang menggoreskan tinta, membuat program-program untuk setahun ke depan dan mengkritisi kegagalan yang pernah ada. Yang pasti, setiap tahun baru, kita umumnya semangat baru, prestasu baru, serta kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, penentuan waktu berpatok kepada kalender masehi. Ummat Muslim bahkan banyak yang tidak tahu Islam memiliki kalender tersendiri dalam menghitung waktu. Kalender Islam yang berdasarkan murni pada peredaran rembulan, pertama kali diterapkan tahun 638 Masehi oleh khalifah Umar bin Khatab (592-644 M). Dia mencoba merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang terpakai saat itu, yang kadang-kadang saling bertentangan satu sama lain.
Umar berkonsultasi dengan para penasihatnya tentang permulaan tanggal untuk system kronologi Islam yang baru. Akhirnya disepakati, bahwa titik referensi terpenting dalam Sejarah Islam adalah peristiwa Hijrah. Permulaan dari system kalender baru ini dipilih (dengan dasar tahun rembulam murni, dihitung mundur) pada 1 Muharram pada tahun terjadinya Hijrah, yang bertepatan dengan 16 juli 622 M.
Hijrah, yang menggambarkan migrasi Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah pada bulan September 622 M, adalah peristiwa sentral dalam sejarah ummat Islam yang masih muda. Peristiwa ini mengantarkan ke pendirian negara Islam pertama, dan juga merupakan titik balik dalam sejarah dunia. Bagi ummat Islam, kalender Hijriah bukanlah sekedar system yang didasarkan pada perasaan sentimental atas peristiwa penting. System ini memiliki makna yang sangat mendalam, baik dalam sejarah maupun agama.
Keunikan dari sistem kalender Islam ini adalah, bahwa dia tidak dimulai dari suatu kemenangan umat Islam dalam peperangan, bukan juga kelahiran atau kematian Nabi, bukan juga dari awal turunnya wahyu. Era Islam dimulai dari Hijrah, atau kesediaan untuk berkorban demi kebenaran dan kemeuan untuk melindungi wahyu. Ini adalah suatu pilihan yang pasti mendapat inspirasi Ilahi. Allah ingin mengajarkan manusia tentang perjuangan abadi antara kebenaran melawan kebathilan. Kalender Islam senantiasa mengingatkan Ummat Islam setiap tahun, tidak pada saat kejayaan Islam, namun pada kesediaan berkorban, agar mereka siap melakukan hal yang sama.
Seluruh peristiwa kehidupan Nabi dan sesudahnya selalu dicatat dalam kalender Hijriah. Karena itu studi sejarah ini hanya mungkin dilakukan dengan sempurna bila kita juga memakai kalender Hijriah untuk menandai tahun dan bulan. Begitu juga hari ini, mari kita jadikan 1 Muharam sebagai momentum agar kita dapat dapat berubah ke arah yang lebih baik. Walau bumi ini sudah tua, tapi masih ada harapan. Sebelum berakhir kita masih punya waktu untuk merenda masa depan ke arah yang lebih baik.



ETIKA MUJADALAH: Membangun Mujadalah Beretika

A.     Pengertian Etika
Etika adalah pemikiran yang sistematis tentang moralitas, yang secara langsung tidak menghasilkan lkebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Jadi, etika bukan sumber tambahan moral, melainkan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran moral. Dengan demikian, etika kurang dan lebih merupakan ajaran moral.
Dengan kata lain, etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya akhirnya untuk memecahkan bagaimana ia harus bersikap kalau ia mau menjadi baik.
Etika tak dapat menggantikan agama, tetapi etika juga tidak bertentangan dengan agama. Bahkan, etika dibutuhkan oleh manusia yang beragama, dalam menafsirkan pesan-pesan yang ada dalam ajaran agama, dan sebagai wahana pembahasan masalah-masalah moral yang baru, yang tidak dibahas secara langsung dalam agama.
Dengan demikian, adanya etika dalam ber-Mujadalah  pada dasarnya merupakan langkah kritis kita dalam upaya menata sikap yang baik dalam penyelenggaraan mujadalah.  Dalam hal ini, tentu saja ajaran agama akan menjadi sumbernya, yang dijabarkan sesuai dengan kajian pada bidang ini.

B.     Petunjuk al-Quran
 “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26)
(“...Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...” (QS. Al-Baqarah: 83)
 “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik…” (Al-Hajj: 24)
 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaf: 18)
 “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (QS. Al-Mu’minun: 3)

C.     Petunjuk Nabi SAW.
Ucapan yang baik adalah sedekah
(HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata benar atau diam
(HR Muttafaqun ‘Alaih)
Jagalah lisanmu, usahakan agar kamu betah di dalam rumahmu, dan menangislah atas dosa-dosamu
(HR. Tirmidzi)
Dan tidaklah menjerumuskan manusia kedalam api neraka, kecuali buah dari lisan mereka
(HR. Tirmidzi)
D.    Etika Debat Menurut Para Ulama
Etika dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama, yaitu :
1.      Mengedepankan ketaqwaan kepada Allah.
2.      Diniatkan untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil
3.      Tidak dimaksudkan untuk mencari kemegahan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
4.      Diniatkan untuk memberikan loyalitas kepada Allah dan pada agama-Nya serta nasihat kepada lawan debatnya.
5.      Diawali dengan memuji Allah swt dan bersyukur kepada-Nya serta membaca shalawat kepada Nabi saw.
6.      Memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik atas perkara yang diridlainya.
7.      Menggunakan metode yang baik dengan pandangan dan kondisi yang baik.
8.      Singkat dan padat dalam berbicara, yaitu berbicara sedikit tetapi sarat makna, serta tepat sesuai dengan sasaran.
9.      Bersepakat dengan lawan debatnya atas sumber yang akan menjadi rujukan keduanya.
10.  Tidak mengeraskan suara kecuali dengan kadar yang dibutuhkan untuk bisa didengar oleh orang yang ada disekitarnya, juga tidak boleh berteriak dihadapan lawan diskusi.
11.  Tidak boleh meremehkan dan menghinakan keberadaan lawan debat.
12.  Menjauhi tindakan bodoh (al-hiddah) dan berbuat sesuatu yang membosankan.
13.  Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan debat agar bisa membantahnya dengan mudah. Tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan selesai bicara.
14.  Tidak boleh berdebat ditempat-tempat yang dikhawatirkan, atau mengandung resiko negatif.
15.  Tidak boleh keras kepala dengan tidak menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lawannya.

E.     Etika Menyangkut Spiritual Quotients
1.      Meluruskan Niat
Niat adalah pangkal dari segala nilai di hadapan Allah SWT. Olrh karena itu, segala sesuatu yang baik hendaklah didasarkan niat karena Allah. Begitu pun dalam mujadalah, seseorang harus berniat untuk beribadah karena Allah.
2.      Jujur Kembali Pada Rujukan
Peserta mujadalah harus senantiasa menyertakan rujukan dan sumber dari pemikirannya. Mendukung pendapatnya dengan data dan referensi untuk mengembalikan setiap persoalan dalam setiap topik pembahasan.
Dalam mujadalahm, peserta mujadalah harus menghindarkan diri dari rujukan yang tidak kuat (hujjah yang lemah). Hujjah yang sedikit namun kuat, lebih baik daripada hujjah yang banyak namun lemah dan terbantahkan.
Salah satu cara menghormati kebenaran ialah tidak mengutip pendapat orang yang tidak dipercaya ilmu dan kejujurannya. Allah SWT berfirman:
 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)
3.      Berpegang Teguh Pada Kebenaran
Sebagai seorang muslim, wajib menjaga dan memegang teguh terhadap kebenaran, dan menolak terhadap berbagai jenis kebatilan, baik yang nampak atau pun tersembunyi.
4.      Tawadhu
Tawadhu dalam arti tidak merasa sombong deangan apa yang dimiliki, tidak merasa paling hebat. Dalam proses mujadalah hendaknya seseorang bersikap rendah hati.

F.     Etika Menyangkut Intellegence Qoutients
1.      Ilmu: Sumber, Model, dan Dicari
Tema mujadalah yang diangkat tidak boleh hal-hal yang  tidak dimengerti. Jangan membela pemikiran-pemikiran yang ia sendiri tidak yakin dengan pemikiran tersebut.
2.      Pemikir dan Pemikirannya
Hal yang dibahas, dikritik, dianalisis, dan disanggah dalam mujadalah adalah pemikirannya, bukan orang yang memberikan pemikirannya. Hal mitu untuk menghindarkan percekcokan dalam mujadalah.
3.      Manusia itu beragam
Bahasa dan argumentasi seseorang dengan yang lainnya tentu berbeda. Dalam hal ini, peserta mujadalah harus memahami dengan siapa ia berbicara, sehingga bisa disiapkan bahasa, argument, dan metode apa yang akan digunakannya dalam mujadalah.
4.      Mengakui Adanya Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat di kalangan umat manusia adalah bersifat fitrah atau sunnatullah. Sehinggga realitas manusia bisa dikategorikan ke dalam golongan awam, ulama, sampai kepada irfan (berpengetahuan daloam dan luas)
Meski demikian, perbedaan pendapat tidak perlu menimbulkan perselisihan karena memperturutkan hawa nafsu. Perbedaan hanya cukup ada dalam dengan tetap mengikuti aturan main dan bersandar kepada logika yang sehat.
5.      Memperhatikan Titik Persamaan dan Perbedaan
Saat seseorang berbicara, alangkah baiknya jika struktur pembicaraan dimulai dengan mengungkapkan titik persamaan yang ada, yang telah diterima oleh semua pihak.
6.      Mencapai Keberhasilan
Membatasi pembahasan sesuai denga tema pembahasan dimaksudkan supaya mujadalah memiliki buah keberhasilan yang baik.
7.      Argumentatif dan logis
Supaya lawan menerima berbagai pendapat yang diajukan seseorang, maka pendapat tersebut harus berargumen (kuat rujukannya) dan logis.

G.    Etika Menyangkut Emosional Qoutients
1.      Tidak ber-Mujadalah dalam keadaan kekenyangan, kelaparan, kehausan, dan keletihan
Badan setiap peserta mujadalah harus benar-benar dalam keadaan fit, sehinggga peserta bisa tenang dalam menghadapi mujadalah.
2.      Tidak ber-Mujadalah dengan yang disegani atau ditakuti
Kebebasan berpendapat dan berbicara merupakan salah satu cirri dari metode mujadalah. Oleh sebab itu, mujadalah akan berkembang dengan baik di tengah suasana yang menjungjung kesetaraan.
3.      Tidak merasa kurang dan tidak merasa lebih
Perasaan yang tidak seimbang merupakan awal yang kurang baik bagi kelanjutan pelaksanaan mujadalah. Baik ketidakseimbangan tersebut dalam bentuk merasa kurang atau merasa lebih. Jika merasa kurang ia akan minder, jika merasa lebih ia akan sombong.
4.      Memilih situasi kondusif
Memilih situasi yang kondusif bertujuan untuk kenyamanan dalam proses jalannya mujadalah. Hal itu mrnyangkut tempat, waktu dan manusianya.
5.      Memperhatikan diri
Setelah muda’I berbicara, sebaiknya muda’I tersebut mengevaluasi dirinya sendiri dalam hal pembicaraan, sikap dan yang lainnya dalam mujadalah.
6.      Sportivitas
Sportivitas adalah mengakui apa adanya , yang tercermin dalam sikap mampu mengakui keunggulan lawan.
7.      Menghormati pihak lain
Menghormati dan menghargai pihak lain merupakan kewajiban diri dan hak bagi orang lain. Oleh karena itu, rasa hormat kepada pihak lawan merupakan hal yang mesti dijaga dalam proses mujadalah.
8.      Senantiasa memilih yang lebih baik
 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. …..” (QS. An-Nahl: 125)
Yang baik di sini adalah baik dalam pernyataan, sikap, maupun perilaku.
9.      Perbedaan pendapat dan kasih sayang
Walaupun dalam ber-mujadalah sudah pasti ada perbedaan pendapat, namun hal itu jangan sampai membuat persaudaraan menjadi runtuh, dan jangan terjadi sikap permusuhan.
10.  Tidak emosional
Jika pendapat yang dikemukakan tidak disetujui oleh pihak lawan, maka jangan sampai menimbulkan sikap emosional yang tidak terkendali. Dan jangn pula memaksakan pendapat yang dianggap benar kepada orang lain. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
 “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam….” (Al-Baqarah: 256)
11.  Tidak menampakkan kurang perhatian
Sikap kesatria tercermin dalam dalam kemampuan seseorang menghargai dirinya dan orang lain. Jika seseorang kurang memberikan penghargaan kepada orang lain, itu berarti ia tidak mau dihargai atau diperhatikan orang lain.
12.  Ketika logika tidak lagi diperankan
Jika logika dan argumentasi tidak lagi diperankan, maka saat itu yang ada adalah rasa kasih saying dan perbuatan baik yang berperan.

H.   Etika Menyangkut Teknik Qoutients
1.      Tidak mengungkapkan kata “I’jaz”
I’jaz adalah kata yang lebih ringkas dari maknanya. Hal demikian dapat menyebabkan perbedaan persepsi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman antara yang mengungkapkan dan yang menyimak.
2.      Tidak mengungkapkan kata “Ithnab”
Ithnab yaitu lafazh yang lebih umum dari maknanya. Sebagaimana I’jaz, ithnab pun dapat menyebabkan perbedaan persepsi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman antara yang mengungkapkan dan yang menyimak.
3.      Tidak mengungkapkan kata “Mujmal”
Kata yang mujmal artinya kata yang bersifat global atau tidak rinci.
4.      Tidak mengungkapkan kata “Gharib”
Kata gharib adalah kata yang asing atau kurang dipahami oleh umum. Ukuran asing di sini adalah orang yang diajak ber-mujadalah.
5.      Tidak mengungkapkan ungkapan “Absurd”
Ungkapan absurd adalah ungkapan atau konsep yang tidak jelas arah dan tujuannya atau konsep yang tidak mungkin dapat terealisasikan. Ungkapan seperti itu bagaikan khayalan atau impian yang kurang memberikan manfaat.
6.      Tidak keluar dari pokok persoalan
Sebelum mujadalah yang berkenaan dengan satu masalah yang dibahas itu selesai, seseorang tidak diperkenankan untuk keluar dari jalur, membahas persoalan yang lain.
7.      Tidak menyanggah sebelum paham benar apa yang akan disanggah
Mujadalah meupakan permainan strategi yang penuh dengan taktik dan resiko. Ketika salah langkah, akibatnya bisa patal dan merugikan diri sendiri.
8.      Menyimak dengan baik
Sebagai pelaku mujadalah hendaknya pandai mendengarkan pendapat orang lain, disamping pandai mengutarakan pendapat. Karena pembicara yang baik adalah pendengar yang baik.
9.      Mengungkap bahasan yang jelas
Dalam mujadalah, tegasnya ungkapan, fasihnya lisan, dan baiknya penjelasan merupakan pilar-pilar penting untuk menghasilkan mujadalah yang baik dan produktif.
10.  Menggunakan ilustrasi
Ilustrasi merupakan salah satu langkah untuk memperjelas dan mempermudah lawan dalam memahami argumentasi yang ia maksud.
11.  Tidak mengeraskan suara berlebihan
Orang yang ber-mujadalakh sebaiknya jangan mengeluarkan suara yang berlebihan atau tidak mengeraskan suara lebih dari yang dibutuhkan pendengar.
12.  Menyerang dan mematahkan dengan baik
Dalam menyerang dan mematahkan argument lawan, hendaknya seseorang itu memilih dan memilah kata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan lawan.
13.  Menjaga kesopanan
Perbuatan yang tidak sopan dan yang dapat menyinggung, terkadang sering terjadi Dallam proses mujadalah, misalnya membelakangi lawan, tidak memperhatikan lawan, atau sikap melecehkan lawan. Sikap-sikap seperti itu hendaknya dihindari oleh para pemujadalah.
14.  Menjaga suasana tenang dan kondusif
Suasana yang tenang dan kondusif akan membawa kenyamanan  bersama dalam proses mujadalah. Oleh karena itu, demi kepentingan bersama, suasana yang tenang, aman dan kondusif harus tetap dipelihara.
15.  Menutup mujadalah dengan baik
Saat perbedaan prinsip tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang tersedia dan terbatas, yang paling utama dilakukan adalah menutup acara mujadalah dengan cara yang bijaksana dan cerdas, sehingga tidak menimbulkan kesan pada semua pihak bahwa dirinya lemah atau meninggalkan mujadalah dalam keadaan kalah.